Badan Eksekutif Mahasiswa Prodi (BEMP) Pendidikan Agama Islam, Universitas Negeri Jakarta menyelenggarakan Seminar dengan tema "Belajar Dari Rekonsiliasi Korban dan Mantan Pelaku Terorisme" di Gedung Ki Hajar Dewantara, kampus , UNJ pada hari Kamis 1 November 2018. Acara ini diisi oleh pembicara Imam Prasodjo (Dosen Sosiologi UI), Ali Fauzi ( Mantan Teroris), Hasibullah Satrawi (Direktur AIDA),Ni Luh Erniati (Korban Bom Bali), Dr. Ramdhani M,pd (Dosen UNJ), Dr. Abdul Fadhil (Dosen UNJ) sekaligus sebagai moderator. Dan dihadiri oleh peserta dari berbagai institusi, mulai dari UNJ, UIN, Universitas Ibnu Chaldun, Universitas Pamulang, Universitas Islam Jakarta, dan lain sebagainya.
Dalam pembicaraanya, Hasibullah Satrawi memaparkan tentang perkembangan pemikiran ekstrim yang sekarang marak terjadi di ranah kampus. Salah satu buktinya adalah adanya praktek keagamaan ekstrim seperti ideologi untuk mengislamkan Indonesia secara kaffah, gerakan untuk melakukan kekerasan melalui lembaga-lembaga atau perkumpulan religius masjid walaupun tidak semua seperti itu. Ekstrimisme dalam penjelasannya adalah sifat fanatisme biasanya mereka lebih cenderung memilih untuk melakukan hal yang lebih berat dan rumit diabnding yang ringan dan mudah. Salah satu contohnya di Indonesia adalah adanya kekerasan atas nama agama yang mana menjadikan agama sebagai tameng dari perbuatan mereka atau melaksanakan praktik keagamaan yang kaku seperti makan harus menggunakan tangan dan haram apabila menggunakan sendok dan lain sebagainya.
Sementara dalam pembicaraan mantan pelaku terorisme, Ali Fauzi menjelaskan bahwa akar terorisme tidaklah tunggal melainkan saling berkaitan. Ibaratkan sebuah penyakit, aksi terorisme ini termasuk penyakit komplikasi yang membutuhkan dokter spesialis dalam penyembuhan serta pencegahannya. Dalam sejarahnya ketika berkecimpung di dunia terorisme beliau memiliki banyak nama samaran (Salman di Poso, Abu Ridho di Ambon, dan Ikrimah di Filipina). Pada tahun 1991 beliau masuk ke anggota NII di Malaysia. 1994 bersama Noordin M Top di Jamaah Islamiyah. Menjadi kepala instruktur perakit bom pada tahun 1999. Menjadi pelatih dasar militer. Beliau memaparkan bahwa ada lebih dari 300 aksi teror dari tahun 2000-2018. Di tahun itu bom yang paling terkenal adalah bom mobil dan lebih terorganisir sementara sekarang lebih mudah ditemukan. Salah satunya pada tahun 2002 di Bali, terjadi aksi teror dengan bom yang meledak sebesar 1 ton. Pasca bom Bali tahun 2002 beliau melarikan diri ke Malaysia dan Filipina, lalu tertangkap di Filipina dan dipenjara tahun 2004. Ketika tahun 2014 bergabung dengan Aliansi Indonesia Damai dan menjadi Direktur Lingkar Perdamaian tahun 2016.
Pembicara terakhir adalah Ni Luh Erniati sebagai korban dari aksi bom Bali. Beliau menceritakan kisah dimana bom tersebut telah merubah kehidupannya. Suami tercintanya tewas dalam peristiwa tersebut ketika sedang bekerja sehingga beliau harus bertahan menghidupi kedua anaknya yang masih kecil seorang diri. Pertama kali beliau bertemu dengan Ali Fauzi (mantan teroris) hatinya sangat hancur dan amarah menyelimutinya namun seiring waktu berlalu ia pun dapat bangkit dan menyadari bahwa amarah dan kebencian tidak akan menyelesaikan masalah. Beliau memberikan pesan damai kepada para peserta seminar pada saat itu bahwa setiap cobaan pasti ada hikmah dibaliknya. Setiap kekerasan tidak perlu dibalas dengan kekerasan. Pentingnya saling memotivasi satu sama lain, serta senantiasa berlapang dada dalam menerima kenyataan agar tidak menjadi beban.
Komentar
Posting Komentar